Menyaksikan Spiritualitas Pertunjukan Teater Puitik

Jumat, April 19, 2013 Alexander GB 1 Comments


Apa manfaatnya menonton teater pada abad ke-21 ini? Mungkin begitu kau bertanya saat satu undangan menonton teater sampai ke tanganmu. “Jauh lebih enak nonton film-film aksi ala Hollywood, betul nggak?” pikirmu. Tapi, saat saya memasuki gedung pertunjukan teater di Taman Budaya Lampung, satu-satunya gedung pertunjukan teater yang masih tersisa di provinsi Lampung, berniat untuk menyaksikan pentas “The Song of Dajang Rindu” karya Ari Pahala Hutabarat dari Teater Komunitas Berkat Yakin (KoBER), setengah jam sebelum pertunjukan dimulai, saya sudah merasakan aura yang aneh: rileksasi.

Sama sekali tak ada ketegangan; seperti lazimnya saat kita akan menonton satu pertunjukan teater kontemporer, yang sering diasosiasikan oleh publik nonseniman sebagai “pertunjukan berat”. Rileksasi itu menjalar ke wajah, punggung, tangan, hingga kaki saya… dan saya duduk bersandar pada kursi sofa bagian depan dengan nyaman. Di samping saya ada penyair Isbedy Stiawan Z.S. dan jurnalis The Jakarta Post Oyos Saroso H.N.  Saya menikmati suasana santai gedung pertunjukan itu justru sebelum pertunjukan dimulai. Hmmm, ini persiapan batin yang sangat baik untuk menonton sebuah pertunjukan teater kontemporer yang (saya duga) pastilah akan berat, pikir saya. Jadi, saya memutuskan tak  membaca boklet pertunjukan, saya ingin langsung merasakan pertunjukan itu, tanpa mesti dibebani dengan pikiran-pikiran artistik yang biasa saya pakai sebagai “alat” untuk menikmati satu pertunjukan teater selama ini. Kesantaian, rileksasi di dalam batin saya, cukuplah sebagai persiapan. Tapi, darimana muasal kesantaian batin itu?

Saat pertunjukan dimulai dalam kegelapan, dengan munculnya seorang pewarta kisah, ditingkahi pencahayaan yang sederhana namun tepat, suasana rileks dalam batin saya belum berubah juga. Bahkan saat serombongan penari muncul di panggung, menarikan gerakan tari yang dinamis, tarian modern dengan akar gerak dari tarian etnis Lampung, suasana rileksasi di batin saya tetap tak berubah. Tarian dari serombongan penari perempuan, dengan kostum bernuansa etnis Lampung, membuat saya terpukau oleh sentuhan energi di dalam gerak yang dinamis, rampak, artistik – ya, terasa ada energi spiritual yang primordial sekali mengalir dari sana: kesunyian di dalam tarian yang dinamis.

Demikianlah adegan demi adegan mengalir dengan intensitas kesantaian yang dinamis dalam tujuh adegan The Song of  Dajang Rindu. Kesantaian yang dinamis ini tetap terjaga sampai akhir pertunjukan dengan durasi sekitar satu setengah jam. Saya benar-benar menikmati setiap pengadegan dalam pertunjukan ini. Imaji-imaji visual yang – kadang surealistik juga – muncul dengan liar, namun terasa di batin saya tetap terjaga harmonisasinya, dalam arti tidak asal liar.  Selalu bisa dijejak kodefikasi simbolistik pada adegan-adegan surealistik yang muncul, mulai dari adegan pesawat udara hingga seorang penyelam yang muncul di panggung, menyatakan kesejajaran konflik antara masa lalu dengan masa kini. Musik yang menghentak, mengalun, mencepat, melambat masuk mengisi setiap adegan –  juga terasa harmonis sekali. Akting para aktor, yang berselan-selin  antara teknik keaktoran ala Bertolt Brecht  dan Stanislavski, benar-benar pas dalam takaran permainan karakter tokoh-tokohnya.

Kisah yang ditampilkan dalam The Song of Dajang Rindu ini, bila hendak diungkapkan dengan satu kalimat pendek, sebenarnya sangat sederhana: Kasih tak sampai. Dayang Rindu sendiri sebenarnya adalah cerita rakyat yang beredar luas di Sumatera Bagian Selatan; dari Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, hingga Lampung – tentu dengan berbagai versi. Tapi, inti kisahnya adalah soal kasih tak sampai itu. Dan Teater KoBER kali ini mengambil versi cerita yang beredar di masyarakat adat Lampung. Alkisah, pada suatu masa lalu entah kapan tepatnya, seorang putri terkabar kejelitaanya ke segenap penjuru negeri. Ia bernama Dayang Rindu, putri mahkota Kerajaan Tanjung Iran. Kejelitaan Dayang Rindu yang ampun-ampunan  jelitanya itu sampai pula ke telinga Pangiran Riya, penguasa Kerajaan Palimbang, lewat para punggawanya. Sang Pangeran dari Kerajaan Palimbang, yang terkenal kuat dengan angkatan perang sungai dan lautnya itu, tergila-gila (setelah mendengar desas-desus) kejelitaan Putri Dajang Rindu, hingga ia memutuskan untuk meminang sang putri Kerajaan Tanjung Iran itu – meski harus berperang sekalipun. Utusan kerajaan Palimbang pun dikirim ke Tanjung Iran untuk meminang.

Emas, gading, sutra, permata berpeti-peti dan bertampah-tampah pun dibawa sebagai tanda peminangan. Namun, Wayang Semu, raja Kerajaan Tanjung Iran, ayah dari Putri Dayang Rindu, menolak lamaran itu. Alasan penolakannya karena Sang Putri telah diperjodohkan dengan Ki Bayi Radin, putra dari Batin Pasak di Rambang. Demikianlah muasal peperangan antara Kerajaan Palimbang dengan Kerajaan Tanjung Iran dimulai. Darah prajurit tertumpah, penduduk Tanjung Iran kehilangan nyawa. Bahkan ayah-bunda dari Putri Dajang Rindu sendiri ikut tewas dalam peperangan yang absurd itu, peperangan untuk memenuhi imajinasi Pangerin Riya akan kejelitaan seorang putri yang sekali pun belum pernah dijumpainya. Adegan terakhir dalam pertunjukan teater ini sangatlah menyentuh: Salah satu paman dari Dayang Rindu datang menantang bertarung Pangiran Riya, dan akhirnya Pangiran Riya pun tewas; lalu, samar-samar, dari bagian belakang panggung, tampaklah Putri Dayang Rindu yang hanya ditampilkan sekilas (dan hanya sekali) dalam adegan akhir ini – Sang Putri Kerajaan Tanjung Iran ini tampak sedang menari dengan agungnya, tarian kematian atas hasrat kuasa melawan harga diri yang absurd.

Mengapa Sang Putri Jelita dari Tanjung Iran ini hanya ditampilkan sekilas pada bagian akhir? Tampaknya sang sutradara Ari Pahala Hutabarat sengaja memilih demikian. Ia menyadari absurditas dalam kisah ini. Pusat konflik dua kerajaan dalam kisah rakyat ini bukanlah pada sosok Dayang Rindu, tapi pada obsesi Pangiran Riya akan kemolekan tubuh perempuan, juga pada “harga diri” sang raja Tanjung Iran yang menolak lamaran Pangiran Riya. Kecantikan, kemolekan, kejelitaan tubuh perempuan tidaklah membawa petaka. Sebaliknya, nafsu para penguasa, khususnya lelaki, yang justru menciptakan petaka itu. Ini pesan yang dalam dan universal, yang mampu ditangkap oleh sang sutradara, dalam menyusun adegan-adegan, tanpa terjebak ke dalam klise soal “kasih tak sampai”.

Secara artistik, pementasan teater “The Song of Dajang Rindu” karya Teater KoBER, saya anggap berhasil dengan “bersih”. Tak ada unsur artistik yang meluber, dalam arti narsis, karena semuanya benar-benar terjaga dihadirkan secara sadar oleh sang sutradara. Selesai pertunjukan, yang saya tonton pada tanggal 16 Juni 2012 itu, saya sempat berdialog sekitar dua jam dengan sang sutradara sekaligus penulis naskah Ari Pahala Hutabarat. Saya penasaran dengan konsep artistiknya, dan lebih penasaran lagi soal misteri “rasa santai” yang saya alami saat menonton pementasan teaternya itu.

Ari, begitu saya biasa memanggilnya, memang sengaja melakukan eksperimentasi-spritual dalam pementasan teaternya kali ini. Ia mencoba menjadi “sang saksi” bagi bahan ceritanya, dan ia membina agar para aktor, para penari, serta pekerja artistik dalam pementasan Teater KoBER kali ini juga mencapai hal yang sama. Sang saksi adalah pencipta “jarak” terhadap realitas, khususnya realitas artistik, guna mencipta dunia baru ke dalam seni pertunjukan The Song of Dajang Rindu.

“Tak mungkin ada penciptaan dunia baru, jika sang saksi tidak muncul,” katanya kepada saya sambil minum kopi di pelataran parkir Taman Budaya Lampung. Malam yang beranjak dingin mulai terasa hangat-hangat kuku.

“Maksudmu?” tanya saya.

“Sang saksi itu adalah pencipta dalam kaitannya sebagai seorang pemula. Artinya, ia harus meninggalkan perspesi lama tentang realitas yang telah membantuk pola pikirnya, dan kembali ke awal, ke sumber, dengan menjadi seorang pemula,” kata Ari.

“Apakah seorang pekerja teater tidak perlu menghiraukan persepsi penonton?” tanya saya.

“Persepsi penonton bukanlah hal yang krusial dalam pertunjukan teater saya kali ini,” kata Ari, “yang saya butuhkan adalah sikap seorang pemula dalam diri para pekerja teater saya. Seorang pemula akan menjadi saksi bagi hadirnya sebuah dunia alternatif, sebuah dunia yang berada pada level lebih dalam daripada kenyataan sehari-hari, kenyataan yang telah menjadi rutin tanpa kejutan. Dan, pada titik itu, pertunjukan teater akan menjelma menjadi sebentuk kesaksian, yang menghadirkan sang saksi pertama, menjadi media bagi model dunia baru untuk hadir di sini dan saat ini. Para pelaku teater yang telah menjadi pemula ini akan berbagi dan merayakan pengalamannya kepada penonton. Jadi, buat saya, teater lebih sebagai sebuah perayaan batin, ketimbang suntuk dengan persoalan artistik semata.”

Nah, sekarang saya sadar, muasal rasa santai yang timbul dalam batin saya saat menonton pertunjukan teater “The Song of Dajang Rindu”. Semua itu timbul secara alamiah di dalam diri para pelaku Teater KoBER sendiri. Kesantaian itu, rileksasi itu, ternyata menular. Teater – seperti yang dihadirkan oleh Teater KoBER kali ini – telah menjadi semacam media spiritual. Semacam perayaan akan keriangan universal – tak peduli meski kisahnya tragedi sekalipun – melalui media artistik teater. Saya menjadi penikmat, menjadi penyimak, menjadi sang saksi dalam pertunjukan Teater Kober; dan bukan sekedar menjadi seorang penonton yang baik. Sungguh, saya merasa bahagia dengan perayaan teater puitik The Song of Dajang Rindu oleh Teater KoBER kali ini. Saya merasakan kebahagiaan itu: di sini dan saat ini.

Oleh Ahmad Yulden Erwin
Penikmat Teater

1 komentar: